Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Telah Tiga Ela-Ela Kau Pergi

Telah Tiga Ela-Ela Kau Pergi

Kita pernah mencatat dalam benak tentang kenang saat malam seribu bulan di kota ini. Bintang yang kian membanyak kilaunya, langit yang seolah berdentang lembut mendayu memanggil jiwa-jiwa yang mendamba surga, serta siurnya keramaian orang yang keluar dari mesjid selepas taraweh. Aku meyakinkanmu bahwa tak ada tempat di belahan dunia manapun yang sebanding dengan kotaku Ternate pada bulan Ramadan, khususnya pada malam Ela Ela, tradisi yang selalu terawat menyambut datangnya Lailatul Qadar.

"Ela Ela pake jam jam to, suba joo".  Kata-kata itu seolah magnet saat diteriakkan oleh anak-anak kecil yang berjalan menerobos malam sambil membawa obor dari bambu, hingga malam terlihat memikat, benderang, bagai nyala seribu kunang-kunang raksasa, berkelip dari kejauhan. Anak-anak itu memakai baju koko putih, menggunakan peci dan terlihat berbinar sambil bercanda riang dalam barisan yang teratur. Mereka berjalan di sepanjang jalan yang berhias lampion warna-warni, rumah-rumah yang bersulap diri lebih cantik berkilau cahaya lampu yang lebih dari bulan-bulan lainnya. Sungguh, bagiku pemandangan ini yang selalu bangkitkan rinduku untuk selalu pulang , lagi dan lagi.

Sambil menggenggam hangat tanganku, kita melewati jejeran batang pisang yang dipancang berderet di depan pagar setiap rumah. Wangi damar yang terbakar, kerlip api di atas bebatang pisang membekaskan rasa yang agak magis dan menumbuhkan romantisme tersendiri. Itu katamu, dan kupikir benar. Aku kian mempererat genggamanmu, merasakan indahnya getar yang timbul mengaliri segenap pembuluh darahku. Kupikir wangi dari lelehan damar menjadi pemikat kian rimbunnya cintaku padanya, lelaki yang kini menatapku berulang bergantian dengan pijar ela-ela, lurus ke dalam mataku. Kuharap ia temukan pijar ela-ela itu dalam pekat hitam bola mataku. Di kejauhan lamat kudengar suara dentuman meriam bambu bersahut-sahutan, namun tak jua mengalahkan dentuman hatiku yang dibongkahi bahagia.

Segalanya kembali berlintasan, bagai pepohonan yang berlari ke belakang saat kereta melaju. Adalah kemudian tentang kita berdua, mimpi, harapan, potongan teka-teki yang sama kita susun hingga membentuk hari esok. Kita melarut dalam kubangan rasa yang indah, tak lagi samar bagai benderangnya Ela Ela. Aku tak mungkin melupa, saat kau bertutur tentang kampungmu yang terasa sepi nyaris mati, saat kau melewati Ramadan yang kesekian tanpa orang-orang terkasihmu, yang telah berpulang lebih dulu ke Pencipta. Sambil menyaksikan pendar cahaya kota dari ketinggian Moya, kuhayati setiap katamu tentang sunyi, kematian, rasa yang tak lagi sama, diri yang bukan lagi diri, kepahitan yang terus terdekap, serta jiwa yang lelah. Aku tak mengerti mengapa rasa harus dihayati sedemikian rupa? Mengapa cinta selalu menjadi raja dan menguasai segenap pertahanan diri kita sedemikian pantasnya?

Semua pertanyaan itu baru kutemukan jawabannya setelah tiga kali malam Ela Ela kulalui tanpamu. Aku jadi paham semua rasa yang kau tuturkan dulu, malah aku merasa lebih sanggup menjelaskan segala luka itu dengan lebih hebat darimu. Kau tahu kenapa? Tersebab segala perih itu telah menjadi belukar di dadaku, yang tak bisa ditebas dengan belati setajam apapun. Pergimu pada Sang Pencipta adalah pulangku pada hati yang mati berkali kali.

Kembali kulalui jalan yang sama pada malam Ela Ela, malam seribu bulan di kotaku setelah tiga tahun tanpamu. Kuyakin malam ini cahaya lebih berpijar, karena menurut ibuku ketika Ela Ela dinyalakan, maka itu akan menjadi pemikat bagi sejuta malaikat turun ke bumi, ikut merayakan keajaiban Lailatul Qadar. Bukankah segalanya tak akan seperti yang kita impikan hingga kita menyatu dalam keyakinan itu?  Bebatang pisang itu masih berderet rapih, wangi lelehan damar, api yang meliuk berbagai bentuk, segalanya masih sama. Tapi kuyakin ada yang hilang, walau sekelumit. Sekelumit itu dirimu. Kau tahu apa yang membuatku tetap bertahan dari pergimu? Suara itu...suara para bocah yang memagnet diriku untuk selalu kembali, merawat kehidupan, mencintai malam seribu bulan itu, merindu tampakan langit Lailatul Qadar. Suara itu, adalah rekam ulang segala kenang kita.

"Ela Ela pake jam-jam to, suba joo."

Post a Comment for "Telah Tiga Ela-Ela Kau Pergi"