Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kusinggahi Mei

Kusinggahi Mei

Musim ini masih basah, Mei. Hujan merinai tanpa permisi pada langit, padahal banyak jiwa yang ingin mengulangi lagi beberapa pertanda perihal keriangan mega, gugus bintang, terik matahari dan bunga yang hanya bisa rekah pada malam yang panas. Tapi tak mengapa, Mei...karena kau gadis kecil ceria yang selalu tetap tersihir pada indahnya tiap pergantian musim.

Tapi kali ini mendung hanyut bergelayut di matamu. Akupun kesulitan menemukan ungkapan tergelap tuk kisahkan cerita yang menikam takdirmu. Betul, Mei...takdir tak pernah merubah wujudnya menjadi duri hingga porimu telah tertusuk perihnya, bukan?  Dan yang kutahu, kenangan hitam bagimu seperti bangkai dalam perut hewan kelabu, menjajah mimpi esok lusamu.

"Laki-laki itu bergoyang-goyang dalam tubuhku. Nafasnya memburu seperti anjing mengendus tulang. Selangkanganku berdarah dan seluruh duniaku  jadi terbelah antara kedua lutut dan airmataku. Kata ibu aku diperkosa." ujarmu lantas miskin kata, tak lagi bicara.

Ah, Mei...sedihku meranggas jadi ilalang, meliar dalam kemarahan. Tapi sekali lagi tak mengapa, karena aku akan menyihir ribuan lebah berbaris menuju hatimu dan melelehkan madunya hingga lukamu memanis, bahkan airmatamu pun akan terasa manis, Mei...
Rumah kitapun menjelma kuburan, tak lagi ada nadi yang berdenyut, sunyi pun mengapung, riang terpahat nisan dan kitapun dicurangi waktu, nyaris lupakan usia. Bahkan sajak-sajakku kian lena disampingmu, meracuni musim.

Tujuh tahun sudah berlalu. Awan hitam tak lagi menziarahi matamu, Mei. Mimpi pun tak lagi malu berubah jadi api unggun, semangati ditemukannya kembali dirimu. Mari kukepang rambutmu, adikku, sembari melagukan doa doa yang kian karang untukmu. Harapku takdir kan merubah wujudnya bak kelopak mawar yang berderai antara keningmu, ketika seorang yang terkasih mengecupmu suatu saat.




Post a Comment for "Kusinggahi Mei"