Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kumis Seribu Satu Malam

Siapa bilang memiliki kumis itu sangat menyenangkan? Hanya saja karena aku lebih cepat diingat atau lebih dikenal oleh banyak orang dengan kumisku yang unik, akhirnya aku bersepakat dengan hati kecilku bahwa itu benar, menyenangkan. Tapi apakah orang-orang itu tahu bahwa pemujaan mereka terhadap kumisku sesungguhnya adalah derita yang maha berkepanjangan bagiku?

Setiap bulan aku menghabiskan uang setara harga 3 buku baru tanpa discount, yang rela tak bisa kubeli (aku sangat mencintai buku) , karena prioritas perawatan kumisku di salon khusus penataan kumis.  Semata untuk menjaga lengkungan di ujungnya dan ketebalan rata ratanya, serta panjangnya yang harus beberapa inci melewati bibirku saat tersenyum dengan sisiran sebanyak 25 kali.

Selain itu, aku sudah dua kali diputuskan pacarku hanya karena urusan kumis. Juhria dengan jujur berkata bahwa ketika berciuman denganku, ia merasa geli karena kadang saking bersemangatnya beberapa helai bulu kumisku masuk dalam mulutnya, dan ia merasa seolah ada seekor kucing yang menciumnya. Baahh...sungguh membuatku sangat  tersinggung akibat persamaan yang dibuatnya. Kamipun putus setelah ciuman ketiga. Dengan Rambega pacarku yang kedua, lebih parah lagi alasannya. Dia tak sanggup saat melihatku makan pupeda (makanan khas orang Maluku yang teksturnya seperti lem). Hanya karena ketika aku asyik menyeruput pupeda langsung dari piring, dan lengket serta belepotan di seluruh kumisku yang akhirnya merubah warna kumisku yang hitam jadi putih kusam. Aku melihatnya terpana, dengan mata bulat membesar dan bahu bergidik ngeri. Baahh....memangnya dia berasal dari Holand? Aku tak habis pikir ketika dia memutuskan hubungan kami setelah kencan berkasus pupeda itu. Walau sedih, aku tetap mengirim pesan WA pada teman lelakiku khususnya yang berkumis, bahwa jangan pernah mengajak perempuan kencan di restoran dengan menu pupeda, jangan berakhir tragis seperti diriku.

Hal lainnya yang menyedihkan adalah saat aku diperkenalkan oleh seorang temanku pada anaknya yang masih balita. Begitu melihatku, anak perempuan kecil itu langsung menangis dan lari bersembunyi ketakutan di belakang ibunya. Sambil menunjuk wajahku ia berteriak-teriak
"Mama...om itu jahat. Wajahnya angker, Adek takut kumisnya."
Baahh...dia pikir diriku residivis atau bromocorah? Kebangetan...dasar anak kecil, tidak bisa menilai suatu keindahan dari seni berkumis.

Seiring berjalannya waktu, sepertinya aku mulai kebal dengan hal-hal sumbang yang terkait kumisku. Aku mulai mencari sisi positifnya, dan sepertinya kumisku adalah identitasku. Ketika ada yang bertanya "Kenal ngga dengan si Mustafa?"
"Yang mana ya..."
"Itu lho, yang kumisnya tebal, panjang dan ujungnya diputar seperti lingkaran."
"Oh...kenal, kan cuma dia yg punya kumis yg unik di kota ini."
Itulah kenapa aku tetap memilih untuk berkumis hingga kini. Ternyata betul bahwa orang sabar itu disayang Tuhan. Seribu satu malam sudah kumisku telah berpetualang melalui rimba kegelisahan, di-bully, dianggap remeh hingga dikhianati, namun kumisku miliki kepercayaan diri yg tak bergeming oleh hantaman badai sekaliber tornado sekalipun. Karena ibarat buku adalah jendela dunia, maka kumisku adalah pintu masuk untuk merayakan cinta. Tak percaya,?

Dalam putus asaku yang memuncak, aku berkenalan dengan seorang wanita manis di perpustakaan kampus, namanya Hanifah yang ternyata sangat mengagumi kumisku. Dia akhirnya jatuh cinta sedemikian dalam padaku, hanya karena kumisku. Tentu saja ini mementahkan segala teori yang sudah terlanjur membuat aku pesimis. Kamipun melewati indahnya romantisme masa-masa berpacaran. Tentu saja aku tidak lagi ingin terantuk pada batu yang sama kali ini. Aku menghindari kencan yang mengharuskan aku menyantap menu pupeda, dan aku telah menguasai teknik berciuman bagi pria berkumis yang kupelajari dari google. Lihat diriku sekarang, seorang lelaki yang bahagia dengan kumisnya yang sempurna dan memiliki pacar yang rela mati asalkan aku tetap berkumis. Kata siapa memiliki kumis itu tidak menyenangkan?

Post a Comment for "Kumis Seribu Satu Malam"