Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hujan Dalam Secangkir Kopi

Hujan Dalam Secangkir Kopi

Marjorie Amal - Hujan kembali singgah pagi ini. Tidak hanya di beranda, tapi akan melongok isi dapurmu. Menghitung berapa jumlah toples yang berisi kopi Arabika, bongkahan gula batu dan serbuk creamer pucat dan aneka rempah milikmu. Itu yang selalu kau ingatkan padaku saat hujan di pagi hari. Padahal aku tahu, dirimu hanya menginginkan secangkir kopi racikanku. Sebab kau sudah begitu mengenal diriku, aku menjadi sangat kreatif meracik kopi saat hujan. Bagiku hujan adalah karunia inspirasi yang cepat tularkan semangat pada setiap butiran rinainya. Begitulah diriku memaknai hujan, mungkin berbeda dengan orang lain yang cenderung menarik selimut kembali.

"Kopi apa yang akan kau buat, honey?" tanyamu sembari mengeluarkan 2 mug besar yang kita beli pada saat berburu barang bekas di Sunday Market di Canberra waktu itu. Aku melirik mug itu, serupa cangkir tapi lebih tinggi dengan pegangan telinga yang besar, berwarna biru kelam dengan gambar bulan sabit kuning keemasan, bertuliskan "Hope" yaitu harapan. Saat itu kita mendiskusikan makna gambar bulat sabit dan arti kata harapan, dan dirimu selalu menang tak terbantahkan dalam berdebat.
"Kau tahu dik, bulan sabit itu adalah penanda dari segala rahasia. Kita tidak pernah tahu, apakah akan purnama pada malam yang sama, ataukah tetap sabit hingga jelang pagi. Sama halnya dengan hidup kita, yang berahasia terhadap diri kita sendiri. Demikian juga harapan, wajib kita percayai dan perjuangkan. Harapanlah yang akan mewarnai dan mempermanis cinta. Hidup tanpa harapan sama dengan kopi tanpa aroma,"

Lamunanku terhenti oleh denting mug beradu di atas meja. Kau telah duduk di bangku tinggi meja dapur kita, menunggu secangkir kopimu sambil memandang jendela yang terbungkus gerimis. Hujan tak hanya singgah di dapur kita, tapi juga singgah mengecup pucuk dedaunan hijau, membelai mesra kelopak mawar dan memesrai embun yang bergelayutan pada rimbunan perdu. Ah...pagi yang sempurna.

Air yang kujerang juga telah mendidih. Dengan gaya seorang barista, kuletakkan bubuk kopi pada wadah penyaring kopi yang bermulut bulat dan berlapiskan kain saring yang tipis. Perlahan kutuang air mendidih dengan cara melingkar, dan sari dari kopi mulai menetes turun satu-satu. Cara ini dinamakan "Pour Over" yang terbukti dapat menghasilkan aroma kopi lebih keluar maksimal. Setelah kutuang dalam 2 mug tadi, aku menambahkan sedikit cairan rempah yang selalu tersedia di dapurku yaitu campuran cengkih, kayu manis, kapulaga dan gula.

Hmmm...aku menyesap aroma eksotik yang mengepul di seluruh dapur. Kuberikan secangkir untukmu yang sedari tadi memandang ritual wajibku meracik kopi rempah pada hujan pagi hari. Kita duduk berhadapan, memegangi mug masing- masing. Cinta memenuhi sejuknya dapur, dan kudapati hujan menari-nari dalam cangkir kopiku. Ya...hujan itu tak lebat, tapi timbulkan riak kecil berbentuk sabit di sepanjang pekatnya kopi. Harapanku mendesakkan dirinya pada tarian hujan, makin membesar dan tumpah ruah pada tatakan cangkir. Satu hal yang kita berdua percayai terbukti, harapan akan selalu bersisian dengan keyakinan dan kita tidak pernah akan kehilangan harapan yang kita rawat bersama, bahkan terkadang melebihi ekspetasi awal.

Aku berdiri menggamit lenganmu, dan kitapun berdansa di dapur yang dipenuhi hujan, ditemani kopi beraroma rempah yang telah memerangkap hujan tak pergi dalam cangkirnya. Kecintaanmu pada kopi selalu menjadi ikatan yang erat bagi kita, bagaikan hujan yang selalu mengundang hadirnya pelangi.
Dan hiduppun kian memanis.....

1 comment for "Hujan Dalam Secangkir Kopi"